Minggu, 21 Agustus 2011

Tak Ada Orang Yang Tak Berbakat


Paradigma tentang bakat sudah saatnya dirombak. Menyedihkan, tatkala seseorang terdiskreditkan karena alasan tidak berbakat. Kesempatan untuk mencobapun lenyap, yang tertinggal hanya pemahfuman terpaksa dan menyerah pada nasib.

Bisa berkembang, syukur, tidak pun tak apa, toh memang tidak berbakat. Aduh kasihan betul. Dalam hal ini bakat dibedakan dari spesialisasi, termasuk yang berkaitan dengan pemosisian yang berlaku dalam dunia kerja pada umumnya.

Dikalangan orang tua, misalnya, tanpa sadar sering kali begitu cepat memberi label anak A berbakat seni, anak B tidak, dan seterusnya. Hal itu mengakibatkan perlakuan pada anak pun selektif. Ada anak yang mendapat lebih banyak kesempatan mengembangkan bakat tertentu, sementara anak lain kurang.

Contoh konkret tersebut tak terkecuali juga melanda dunia pendidikan. Berapa persen siswa suatu sekolah punya kesempatan mengeksplorasi bakat-bakatnya? Paling-paling tak lebih dari 10 hingga 25 persen, selebihnya dipendam atau mengembangkan dengan cara sendiri yang belum tentu terarah dengan baik, hingga manfaatnya juga tidak terasa.

Bakat

Definisi bakat yang ditegakan dalam koridor gugus utama umumnya mengacu pada dua pemahaman. Bakat adalah bawaan, given from God, dan bakat adalah sesuatu yang dilatih. Sebelum memahami beberapa definisi dan pendekatan bakat yang juga diungkapkan beberapa ahli, ada baiknya kita yakini satu hal : yakin dan percayalah bahwa setiap insan di muka bumi ini telah memiliki bakat berupa anugerah cuma-cuma dari Sang Maha Kuasa.

Kita mengenal "Empat Karunia Ilahi" (4 Human Endowment), atau bakat alami, yakni kesadaran diri (self awareness), imajinasi (creativ imagination), hati nurani (conscience), dan kehendak bebas (independent will). Tanggung jawab utama manusia sebagai penerima mandat itu adalah memberdayakan keempat bakat alami atau talenta atau karunia tersebut secara maksimal dan optimal.

bersambung....